Kisah Inspiratif Wanita Indonesia. Desain Gambar: Pribadi |
Sudah nyaris tiga bulan dia hanya dapat terbaring di atas tempat tidur yang terletak di ruang keluarga, tanpa kamar, dengan intensitas seringnya orang berlalu lalang, lalu menawarkan sesuatu padanya untuk dimakan atau diminum, yang justru membuat perasaannya lebih tidak enak hati lagi.
Sekilas ia melirik pada seseorang yang akan melintas di tepi tempat tidurnya, berjalan agak tertatih, namun ketika mulai sadar, wanita yang juga berusia sudah tak muda lagi itu berusaha berjalan lebih normal di dekatnya.
Diam-diam diseka air yang mulai jatuh tak terbendung di pelupuk matanya, dengan bibir yang terus bergumamkan kalimat istighfar dan dzikir kepada Allah.
Dia adalah Wa Ode Samuda, wanita berusia 84 tahun, yang puluhan tahun lalu berprofesi sebagai Ibu Bhayangkari, mendampingi suaminya, salah seorang keanggotaan Polri yang juga merupakan Komandan Airud pertama di Kalimantan Timur bernama La Ode Mau Wahid.
La Ode Mau Wahid dan Wa Ode Samuda. Desain Gambar: Pribadi |
Dari Wakatobi ia mengikuti kemana kaki sang suami melangkah demi mengabdikan diri pada negara, hingga pada akhirnya berlabuh di Bumi Etam.
Kota Balikpapan adalah tempat pengabdian terakhir suaminya pada negara, meski jiwa pengabdian pada tanah air tak pernah berakhir, juga merupakan tempat pujaan hatinya itu menghabiskan sisa nafas.
Seorang wanita bermartabat adalah image yang melekat pada dirinya.
Mandiri, tegas, dan berwibawa adalah dia yang dikenal oleh anak-anak serta semua kerabatnya.
“Jadi wanita itu harus punya harga diri. Mau jadi apa kamu jika berganti-ganti lelaki yang mengangkutmu?”
Begitu pesannya kepada anak-anaknya dahulu. Maksudnya adalah tidak dia perkenankan seorang gadis berpergian berdua saja dengan laki-laki yang belum mengucapkan akad di hadapan Allah untuk menjadi imam dalam rumah tangga mereka.
Kemudian petuah itu pun diturunkan pula kepada cucu-cucunya.
Walau jaman sudah berubah, namun pola pikirnya tentang harkat dan martabat seorang wanita tak pernah berubah.
Ketika dia melihat seorang cucunya diantar pulang oleh taksi argo di malam hari, dia pun menunggu di balik pintu dengan daftar ceramah yang panjang tanpa perlu tertulis, karena sudah tercatat dengan sangat jelas dalam benaknya.
“Apa kata orang-orang jika melihat kamu berdua saja dengan sopir taksi di dalam mobil yang tertutup itu?”
Memang terdengar konservatif, tapi siapa yang berani membantah jika menyadari bahwa semua kata-katanya mengenai menjaga mahkota seorang wanita itu benar adanya?
Walau diketahui juga bahwa di jaman dua generasi setelahnya, jangankan sopir taksi argo, bahkan ojek online sudah menjamur di setiap sudut kota.
Sangat tidak mungkin tinggal ‘dostep’ satu orang khusus menjadi ojek atau sopir pribadi, sedangkan semua pemesanan ojek harus dilakukan melalui aplikasi, dan pencariannya pun acak secara sistem.
Bukan hanya soal menjaga harkat dan martabat seorang wanita, tapi seseorang yang tegar pun adalah dia, Wa Ode Samuda.
Dari 9 orang anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri, sudah 3 orang berpulang terlebih dahulu secara bertahap, yaitu anak nomor 4 (lelaki) ketika masih berusia sekitar 6 tahun, anak nomor 6 yang sudah menjadi seorang ibu dari dua orang anak, kemudian yang terakhir adalah anak nomor 8 (perempuan) dengan meninggalkan seorang ponakkan perempuan yang berada di bawah asuhannya.
Tak terdengar raungan dari bibirnya, bahkan ketika anaknya yang nomor 8 sudah mulai menyerah melawan nyeri di ranjang putih rumah sakit, dia masih berada tepat di sisinya, menggenggam erat tangan sang anak, lalu membimbing buah hatinya itu agar dapat berpulang dengan tenang.
Setelah keranda yang mengangkut jenazah anak perempuannya naik ke atas armada yang akan membawanya menuju rumah, barulah air matanya mulai berjatuhan, tak tertahan lagi.
Begitupun ketika suami tercintanya harus berpulang terlebih dahulu. Di atas kursi roda, dia terus berada di samping jenazah sang pahlawan hati untuk mengantarkannya dengan doa terbaik yang ia punya.
Dia juga wanita yang serba bisa dan sangat peduli terhadap adat istiadat yang ada di kampungnya, meski sudah berpuluh tahun pergi merantau ke daerah orang.
Bergabung dengan perkumpulan Buton Wakatobi di tanah Kalimantan Timur, dia sempat terkenal sebagai pengoleksi busana adat istiadat Wakatobi yang dia jahit sendiri, sehingga ketika ada kerabat yang membutuhkan busana adat salah satu daerah di Sulawesi Tenggara itu dengan pakem yang tepat, mereka pasti akan mengunjunginya.
Upacara Hena'u (turun tanah) yang dilakukan di Kota Balikpapan. Busana yang digunakan para gadis pada foto merupakan koleksi Busana Wakatobi milik Wa Ode Samuda. Desain Gambar: Pribadi |
Wa Ode Samuda itu tak terbiasa sendiri dan sepi, namun bukan keramaian suara di telinga yang dia butuhkan, melainkan kehangatan sebuah keluarga dan kerabat yang berkunjung untuk bertukar cerita.
Bukan caranya pula untuk melihat orang lain merawatnya dan terlihat repot, karena dia adalah sosok wanita yang kuat, tegar, berani, tegas, mandiri, bersahaja, berwibawa, bermartabat, serta bergaya.
Ranjang yang luas dan empuk, tak cukup membuat hatinya merasa nyaman, jika bukan dia yang kini dibutuhkan.
Sementara dia tahu, anaknya yang sudah berusia lebih dari setengah abad, juga sedang mengalami masalah pada kakinya, namun selalu berusaha menutupi dengan baik, demi tidak membuat pilu hati sang bunda.
Selimut yang tebal pun, tak cukup untuk membuat tubuhnya terasa hangat, jika hatinya merasa kesepian.
Sedangkan dia selalu bermimpi untuk pulang ke rumahnya sendiri, tidur di dalam kamarnya sendiri, bersama dengan orang-orang yang biasa ada di dekatnya, dan dikunjungi oleh kerabat-kerabatnya lagi.
Tapi keadaan membuat dia harus berpindah tidur sementara waktu di rumah anak keduanya.
Pandangannya yang sudah mulai kabur, pendengarannya yang sudah tidak jelas lagi, dan wajah cantiknya yang juga tampak semakin tirus, membuat dia tidak percaya diri untuk sering berinteraksi dengan orang-orang yang ada di rumah itu.
Dia tak lagi melihat rumah yang utuh, melainkan melihat kebun buah-buahan yang asri, dimana ada beberapa orang dewasa bertubuh kecil yang mengajaknya bercerita dan mendoakan dirinya.
“Kenapa ini banyak sekali tanamannya Yan, sampai daunnya masuk-masuk ke dalam mangkuk makanku?”
Katanya pada suatu hari kepada sang anak, ketika ia sedang makan dan didampingi oleh anaknya itu untuk bertukar cerita.
Di lain waktu, ia berkisah pula tentang 3 orang dewasa laki-laki bertubuh kecil, yang sedang duduk tepat di sebelah kakinya untuk berdoa.
Dia memang sangat berharap kakinya bisa segera pulih agar ia kelak bisa berjalan dan kembali pulang ke rumahnya sendiri.
Baginya, sebaik-baiknya rumah orang lain, sebagus-bagusnya tempat yang ia kunjungi, rumah sendiri tetaplah yang terbaik, dimana di dalam rumah itu ia mengenal kehangatan sebuah keluarga dan memiliki kuasa untuk melindungi keluarganya sendiri.
Wa Ode Samuda berpulang di usianya yang ke 84 tahun, masih dengan dzikir yang tiada henti di bibirnya ketika itu, seusai ia berpamitan dengan anak keduanya yang sudah merawatnya selama 3 bulan terakhir.
“Tolong bantu balikkan badanku supaya lebih enak aku baring.”
Kalimat itulah yang mengantarkan kepergiannya dengan sangat mudah.
Tanggung jawabnya pun sebagai ibu, nenek, dan buyut di dunia sudah usai, setelah 4 tahun sebelumnya berakhir pula tugasnya sebagai seorang istri.
Bahkan dalam sakitnya, sebelum ia berpulang, dia masih sempat berpesan mengenai cucu-cucu buyutnya yang sudah berusia 4 hingga 10 tahun itu, “Jangan biarkan anak-anak ini melintas di dalam ruangan sekalipun tanpa busana, mereka sudah mulai besar.”
Bagi keluarganya, memang tak ada wanita setangguh dan seinspiratif seperti Wa Ode Samuda, dimana dialah awal mula lahirnya generasi untuk klan mereka.
Dia pulalah sang penjaga martabat keluarga sejati.
Dostep: Penanda Kepemilikan (Istilah di Balikpapan)
Keren banget oma Wa Ode Samuda. Semua nasehatnya benar-benar untuk menjaga harkat dan martabat. Sosok panutan untuk seorang istri, ibu, nenek dan buyut. Love banget, oma Wa Ode Samuda.
BalasHapusAl Fatihah untuk Wa Ode Samuda
BalasHapusAjaran dan prinsip hidupnya pastinya akan terus dilaksanakan oleh anak, cucu dan juga cicitnya. Sosok wanita kuat, mandiri dan memegang teguh tradisi tanah kelahirannya, walau hidup selalu berpindah tempat mengikuti suami
Al Fatihan untuk Wa Ode Samuda. Terlihat teguh banget pendiriannya yah, engga peduli zaman yang katanya moderen. Kala etika mulai tergerus, beliau masih tetap mengingatkan di usia yang renta. Semoga ada yang mewarisi beliau atas kepeduliannya dengan adat tradisi Wakatobi.
BalasHapusWa Ode Samuda melestarikan busana adat istiadat Wakatobi dengan perkumpulan Buton Wakatobi. Sungguh pahlawan Indonesia sekarang ini ada dalam beragam profesi. Bukan cuma mereka yang berkorban nyawa, tetapi juga mereka yang melestarikan budaya dan adat istiadat Indonesia dari waktu ke waktu.
BalasHapus