![]() |
Nonton bioskop tanpa tantrum, bisa duduk tenang walau banyak nanya, kalau bosan paling tidur. Sumber: Pribadi |
Awal mula aku memutuskan ke dokter anak untuk melakukan screening perilaku adalah ketika guru les matematika anakku mengatakan bahwa dia kesulitan untuk membimbing anak bungsuku ini karena fokusnya yang kurang dan tidak mau mengerjakan sendiri, sedangkan di kelas sistemnya adalah semi private (4 orang murid).
Guru lesnya malah bertanya padaku sebagai sang bunda mengenai cara mengajari anakku, sehingga aku mengatakan kembali kepadanya, "Justru itu saya leskan di sini agar dia bisa lebih fokus."
Maksudku, kalau aku bisa mengajarinya sendiri, buat apa aku leskan dia? Iya toh, betul kan?
Guru lesnya malah menyarankanku untuk melakukan pengetesan pada anakku karena menurutnya anakku ada masalah. Padahal, maaf banget, aku perhatikan, malah waada beberapa anak yang les di sana yang menurutku 'nggak senormal anakku', bahkan dari wajah, ekspresi dan tatapan anak-anak itu, aku bisa menyimpulkannya sendiri.
Walaupun agak kesal, tapi aku mulai berpikir untuk membawa anakku ke dokter anak saja demi melakukan screening karena aku berharap anakku bisa jauh lebih fokus jika ditangani oleh ahlinya, daripada aku kasih les tambahan lagi mahal-mahal tapi tetap tidak ada kemajuan.
Lesnya yang ini saja sudah mahal tapi guru lesnya malah minta aku yang kasih tips buat ngajari anakku, hihihiii, gimana sih? Mending sekalian sajalah ke dokter anak.
Nah, jadi dulu alasanku memberi dia les tambahan adalah karena guru kelasnya di sekolah dahulu selalu komplain mengenai dia yang tidak mau menulis di kelas.
Sempat aku ceritakan ya di tulisan sebelum ini dimana pada akhirnya aku pindahkan dia ke kelas sebelah karena lelah dikomplain oleh gurunya, tapi ternyata kuota di kelas sebelah sudah full sehingga langsung aku pindahkan sekolah.
Namun selain pindah sekolah, aku juga masih leskan si bungsu di sebuah lembaga kursus matematika agar dia bisa lebih fokus dan menganalisa soal, namun ternyata guru lesnya pun tak dapat mendampingi dia dengan baik karena sistem lesnya adalah semi private.
Oleh karena itulah, dengan banyaknya pertimbangan mengenai tumbuh kembangnya dia, akhirnya aku memutuskan untuk melakukan screening saja, walau hal tersebut juga membingungkan kedua orang tuaku, "Orang anak normal saja kok dibawa ke terapis sih?" (begitu komentar mereka ketika aku mengatakan akan ke dokter untuk mencari tahu apakah si bungsu memerlukan terapi)
Hal pertama yang aku lakukan adalah pergi ke faskes 1 klinik BPJS-ku, hihihihii. Kalau bisa gratis, ngapain bayar, iya kan? Maklum Parents, Single Mom nih, cari yang bebas biaya dulu. Karena kalau diputuskan terapi, itu nggak bisa dalam sekali waktu terapi saja loh, pasti ada terapi lanjutan dan konsultasi lanjutan.
Nah, waktu di faskes 1, aku langsung mengatakan permasalahannya anakku (aku daftar antrian online melalui JKN sehingga tak perlu terlalu menjelaskan karena sudah kujelaskan secara tertulis pada aplikasi), sehingga oleh dokternya langsung diberi rujukan kepada dokter anaknya. Aku ditanya rencana ke rumah sakit apa, jadi aku memilih yang sekiranya tidak memberatkan aku untuk ke sana.
Di rumah sakit tujuan, aku datang jam setengah 8 pagi untuk mengantre ke dokter anaknya. Syukurnya aku sudah mendaftar online juga melalui JKN sehingga tidak perlu menunggu terlalu lama. Aku mendaftar dokter anak pertama yang bertugas di hari itu. Bagiku sih kalau ke dokter lebih suka yang jadual pagi agar sama-sama masih bugar.
Ketika tiba giliran anak bungsuku ini untuk masuk ke ruangan dokter, di dalam bukan hanya aku yang digali informasinya oleh sang dokter, melainkan anakku juga. Dokternya baik dan lembut sehingga anak bungsuku merasa nyaman serta mau menjawab pertanyaan-pertanyaan sang dokter.
Selesai screening, dokter pun segera menuliskan hasilnya dan memberikan dua surat rujukan.
"Ibu, ini saya memberi dua surat rujukan ya, satunya ke SpKJ, psikiatri, dan satunya ke Tumbuh Kembang. Ibu langsung saja bawa surat rujukannya ke loket, tidak perlu antri, nanti diinfokan mana dulu yang bisa hari ini. Saya beri rujukan ke psikiatri juga karena anak Ibu sudah berusia 6 tahun, sehingga sudah memerlukan konsumsi obat. Nah obat itu ada efeknya, mungkin si anak jadi lebih mudah ngantuk, tapi kalau ada efek mual-muntah, Ibu bawa saja untuk konsultasi kembali."
Ke Poli Kejiwaan?
Dengar begitu, sebagai seorang ibu, aku agak berdebar-debar. Mengapa harus ke psikiatri ya, padahal tujuanku hanya untuk terapi anakku? Pikirku kala itu, tapi ya aku coba jalankan juga arahan dokter. Apalagi ternyata ketika ke loket, Klinik Tumbuh Kembangnya sudah tutup antrian sehingga aku mendaftar ke dokter SpKJnya terlebih dahulu.
Awalnya yang aku pikir psikiatri adalah poli tersepi, ternyata antriannya cukup banyak. Dokternya baru mulai praktek jam 11 siang, sementara aku datang jam 10 pagi. Ketika bertemu dengan susternya, Beliau malah mengatakan kalau sebaiknya aku datang jam 2 siang saja karena antrianku adalah antrian nomor 29. Terpaksa aku pulang dulu ke rumahku yang jaraknya 7 kiloan dari rumah sakit.
Sesampainya di rumah, aku ajak anak-anakku main in line skate dulu ke taman, sembari membuang waktu. Jangan sampai si bungsu sempat pegang HP, pikirku. Kemudian jam setengah 2 aku otw kembali ke rumah sakit, tapi ternyata sesampainya di poli kejiwaan, antrian psikiaternya baru sampai nomor 7. Yang nomor 8 saja masih menunggu, duduk dengan manisnya di ruangan dokter. Jadi antrian 29 itu masih jauh banget, heheheee.
Dan aku agak parno sih kalau anakku rewel di tengah orang-orang dewasa yang memiliki masalah kejiwaan. Mereka pasti butuh ketenangan. Jadi sebelum anakku keburu rewel, aku ajak dia ke minimarket RS. Syukurnya RS-nya itu cukup lengkap kantin dan minimarketnya. Aku belikan dia snack-snack favorite dia, lalu kembali menunggu di depan poli kejiwaan. Si bungsu asyik ngemil, sementara aku iseng buka-buka surat rujukan dari dsa-nya tadi.
Terkejutlah aku, ternyata anakku didiagnosa ADHD!
![]() |
He is very normal to me. Sumber: Pribadi |
Ternyata ADHD bukan Hiperaktif! Tapi Hiperaktif termasuk ADHD! Hahhh?!
Ketika itu aku sempat menyesal, apa aku terlalu melebih-lebihkan perilaku anak bungsuku itu ya sehingga dia didiagnosa berlebihan juga? Aku memang masih belum begitu paham mengenai ADHD.
Si sulung dulu punya teman yang ADHD, yaitu yang hiperaktif banget dan nggak pernah kontak mata, sehingga tertanam dalam pikiranku kalau ADHD adalah yang seperti itu saja.
Ternyata begitu sampai di ruangan psikiatri, Beliau langsung bisa menilai anakku melalui perilakunya, padahal aku belum sempat mengatakan apapun. Beliau adalah dokter senior yang juga sangat lembut dan sopan.
"Oh iya, anak ini sepanjang duduk bergerak terus." Komentar Bu Dokter ketika mengamati perilaku anak bungsuku yang duduk di sofa sampingnya.
Setelah mengamati bocah bungsuku itu, Beliau lanjut menanyai kami. Begitu mengetahui aku sudah bercerai dari mantan suamiku, Beliau juga bertanya, "Maaf, apa dia dulu pernah melihat kekerasan dalam rumah tangga?"
Karena aku mengatakan bahwa anak bungsuku ini juga impulsif, bertindak duluan baru berpikir, kemudian cenderung memukul ketika marah kepada kami yang ada di rumah.
Aku pun menjawab tidak, karena memang tidak pernah ada kekerasan, sementara saat bercerai pun si bungsu masih berusia 10 bulan dan si bapak emang nggak pernah ada bersama kami, hihihii.
Kemudian Beliau langsung dapat menyimpulkan kondisi anak bungsuku ini, namun lanjut memberikan satu kuisioner pengamatan tentang anakku yang harus aku isi, memberikan surat kontrol kembali, serta memberikan resep obat yang diperlukan dengan dosis hanya 50% karena usianya masih 6 tahun.
Sesampainya di rumah, aku membayar SpKJ di aplikasi Alo Dokter lagi untuk menanyakan mengenai obat tersebut. Karena ketika aku mencari tahu mengenai obat tersebut (obatnya bernama aripiprazole), informasi dari google mengatakan bahwa itu obat keras yang banyak efek sampingnya, biasa dikonsumsi oleh penderita bipolar dan skizofernia juga, serta anak dengan kondisi autism.
Alhamdulillah kata dokter di Alo Dokter sih itu aman untuk dikonsumsi anak bungsuku di usianya 6 tahun karena dosis yang diberikan hanya 1 Mg.
Cuma belum aku minumkan sih sampai hari ini, soalnya anaknya masih batuk, aku masih agak khawatir jika dia harus konsumsi obat tersebut dalam kondisi kurang fit.
Aku juga sempat konsultasi kepada Pak Dokter di Alo Dokter tersebut kalau anakku itu tampaknya normal-normal saja, namun Pak Dokter langsung menjabarkan kalau ADHD itu ada beberapa tipe, yaitu:
- Hiperaktif - Impulsif
- Inatentif
- Kombinasi keduanya
Dulu anak sulungku pernah punya teman di paud yang tipe ini, sehingga tadinya aku hanya tahu jenis ADHD yang ini saja, tapi ternyata masih ada yang lainnya. Jadi anak itu berlarian tanpa henti, tidak fokus, kalau mau jungkir balik ya langsung jungkir balik saja gitu, walau berada di depan tangga, jadi memang tidak tahu bahaya sama sekali.
Klinik Tumbuh Kembang
Sehari setelah konsultasi ke dokter anak dan SpKJ-nya, serta secara online ke SpKJnya Alo Dokter, aku kembali ke rumah sakit untuk tujuan semula, yaitu klinik tumbuh kembang anak buat fisioterapi dan terapi okupasi anakku, namun ternyata di sana aku tetap harus konsultasi rehab medik ke dokternya lagi.
![]() |
Di tengah banyaknya anak-anak yang aktif berlarian ke sana kemari, dia bisa duduk saja gitu di samping maminya. Sumber: Pribadi |
Di sana aku dan si bungsu juga ditanya-tanya lagi mengenai perilaku si bungsu. Dikira dokternya, perilaku memukul si bungsu juga dilakukannya di sekolah, tapi aku langsung buru-buru menyangkalnya, karena si bungsu ini memang jagoan kandang saja.
Paling banter, dulu ketika ditegur sama gurunya yang galak, dia akan menangis, ngambek dan tidur di kelas. Setelah maminya datang, langsung mengamuk ke maminya ini, padahal maminya nggak salah apa-apa, wkwkwkkk.
Kata dokternya, rajin-rajin di-sounding saja mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Kemudian dokternya juga mengatakan bahwa tindak terapi di klinik tersebut akan diimbangi dengan program untuk si anak yang akan dijalankan di rumah bersama orang tua juga. Orang tua akan diberikan program untuk melatih anaknya di rumah. Jadi ada kerja sama antara orang tua dan terapis.
Aku juga dimasukkan ke dalam grup whatsap tumbuh kembang anak, dimana di grup itu adalah tempat untuk membuat janji terapi dan satu sesinya hanya akan dijalankan oleh 2 orang anak, sementara dalam satu hari hanya ada 8 sesi. Sangking banyaknya anak yang butuh diterapi. Konon kata adminnya, ada sekitar 400 anak yang tergabung dalam klinik.
And then, sudah dua hari berlalu, aku belum juga mendapat bagian untuk terapi si bungsu (kurang cepat). Sepertinya aku memang harus menunggui whatsap terus menerus agar tidak kelewatan.
Doakan aku bisa segera terapi anak bungsuku ini ya? Mumpung libur sekolah. Agar pas sudah waktunya masuk sekolah, anaknya sudah mulai ada perkembangan.
Buat mama-mama yang punya anak dengan kondisi yang sama, sharing dong, supaya ilmu kita yang awam ini bertambah banyak. Saling sharing yaaa ...
Sementara buat mama-mama yang anaknya ada pada kondisi ADHD yang sempat aku jabarkan di atas, mending segera screening deh supaya bisa segera diatasi. Oh iya, tanggungan BPJS terapi anak dengan kondisi istimewa tersebut, hanya khusus untuk anak di bawah usia 7 tahun, Parents! So, segera deh.
Mungkin jaman sekarang lbh terbuka kasus spt ini banyak terjadi. Jaman anaku msh kecil jarang terdengar anak yang spt itu. Bukan berarti gak ada ya tp gak terekspos jd kesannya kok banyak yg kena
BalasHapus