![]() |
Pribadi. |
Ibu mana sih yang tidak menginginkan anaknya bersekolah di sekolah terbaik? Dan Ibu mana sih yang akan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang menurutnya tidak baik?
Dimana aku tempatkan anakku, pasti karena aku yakin bahwa di tempat itulah anakku akan berkembang.
Singkat cerita, aku menyekolahkan anak bungsuku mulai taman kanan-kanak di tempat kakaknya juga bersekolah sejak taman kanak-kanak, dimana lokasi sekolahannya merupakan yang terdekat dari rumah, gedungnya bagus, aman dan luas, serta bisa saling menjaga dengan sang kakak dan sepupunya karena berada dalam satu lingkup sekolah.
Sekolah tersebut tersedia mulai jenjang TK hingga SMP, dan dengar-dengar sedang mengajukan perijinan untuk sampai ke jenjang SMA. Akreditasi sekolahnya pun A. Apalagi tersedia pelajaran multi bahasa. Menurutku perfect!
Kakak dan sepupunya bisa sampai ke jenjang kelas 5 SD di sekolah tersebut pun sudah sangat luar biasa. Oleh karena itu aku juga melanjutkan si bungsu pada jenjang kelas 1 di sekolah yang sama.
Awalnya berjalan lancar saja. Si bungsu ketempatan kelas dengan cukup banyak teman TKnya di sana (sama-sama melanjutkan hingga ke tingkat SD di sekolah tersebut), serta dengan sebagian kawan baru yang juga baik-baik saja. Wali kelasnya pun baik dan cukup komunikatif dengan orang tua murid.
Sayangnya, sekolahan yang academic oriented tanpa mempertimbangkan perbedaan karakter pada anak-anak ternyata tidak begitu cocok untuk anak bungsuku ini.
Si bungsu sedikit berbeda dengan kakaknya yang dapat lebih fokus terhadap instruksi dan lebih mudah paham terhadap pelajaran akademik, sehingga walau sama-sama memasuki jenjang kelas 1 SD di usia 6 tahun, si sulung lebih cepat menyesuaikan diri.
Padahal masa-masanya si sulung kelas 1 SD adalah masa-masa sekolah daring, tapi si sulung tetap bisa fokus walau interaksinya bersama guru dan kawan-kawannya dibatasi dengan laptop.
![]() |
Pribadi. |
Hampir setiap hari, aku, sebagai orang tua atau wali murid dari anak bungsuku ini mendapatkan keluhan dari wali kelasnya. Aku juga menyaksikan anak bungsuku sangat tertekan. Hampir setiap hari, sepulang sekolah dia menangis. Hampir setiap hari juga aku melihat bekal di dalam tasnya masih utuh tak tersentuh.
Anak bungsuku ini memiliki rasa percaya diri yang rendah dibandingkan kawan-kawannya, dia merasa selalu perlu didampingi untuk melakukan hal apapun. Dia agak kesulitan menguasai perasaan groginya ketika berhadapan dengan wali kelasnya, sementara sang walas orang yang cukup keras dalam mendidik anak-anak muridnya.
Setiap dia diminta menulis dari papan tulis, sangatlah lamban, tapi ketika wali kelasnya membantu membacakan tulisannya, dia malah hanya menatap wajah wali kelasnya dengan takut.
Wali kelasnya bukan orang yang cukup sabar dalam menghadapi anak-anak, sehingga membuat anak yang grogian seperti si bungsu merasa tertekan.
Akhirnya, dia selalu tidak menyelesaikan tulisannya. Karena tulisannya belum selesai, dia tidak boleh istirahat makan oleh wali kelasnya, dipaksa untuk menulisn dulu, bahkan selalu keluar paling terakhir dari kelas karena tidak mau juga menulis. Ending-nya adalah dia selalu mengucurkan air mata deras.
Sudah 6 bulan berlalu di kelas 1, anak bungsuku sama sekali tidak ada perkembangan, sehingga aku mengikuti jejak teman sekelasnya yang kebetulan berkondisi autis ringan untuk request pindah ke kelas sebelah, karena konon kata sang mama, anaknya lebih banyak berkembang di kelas tersebut.
Bukan tanpa pertimbangan. Aku juga melihat gurunya masih muda dan mungkin bisa lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan karakter anak-anak, meskipun guru baru. Apalagi diperbantukan pula dengan seorang guru yang juga wali kelas di kelas tersebut juga.
Di kelas tersebut ada 2 wali kelas karena wali kelas aslinya sempat sakit dan melakukan pemulihan di rumah sakit, sehingga masuklah guru baru itu.
Kepala sekolah mengiyakan untuk percobaan selama satu minggu, dan belum apa-apa aku sudah mendengar celetukan dari sang guru muda ini kepada kepala sekolah, "seminggu saja kan?"
Tapi ketika itu aku masih berpikir positif. Anak bungsuku tetap aku ijinkan untuk percobaan di kelas tersebut.
Selama seminggu itu si bungsu tidak mendapatkan info apapun mengenai aktivitas kelasnya karena memang masih masa percobaan dan belum dimasukkan ke dalam grup kelas, sementara di kelas asalnya si bungsu kehilangan pula moment seminggu full ulangan harian di kelas asalnya.
Bagiku yang terpenting si bungsu happy dulu.
Ternyata, selama seminggu itu dia happy! Kata dia sih teman-teman sekelasnya baik, dan dia juga tidak pulang dalam kondisi menangis.
Setelah menghabiskan waktu selama seminggu itu, aku dengan suka cita mengatakan kepada wali kelasnya kalau aku berencana untuk meminta kepala sekolah tetap menempatkan anak bungsuku tersayang di kelasnya itu.
Tapi respon apa yang aku terima? Wali kelasnya langsung terus terang mengatakan kalau kelas mereka tidak bisa terima anak bungsuku lagi, alasannya karena sudah ada beberapa anak yang perlu pendampingan lebih juga.
Aku langsung merasa bahwa anakku juga membayar yang sama besarnya, lalu kenapa anakku tidak bisa mendapat perlakuan yang sama? Bukankah seharusnya dimana anak happy, disitulah dia lebih bisa belajar? Ada egoku sebagai orang tua yang langsung berpikir, "kenapa aku dan anakku harus mengalah?"
Hanya saja aku orang yang juga malas berdebat, sehingga pada akhirnya aku langsung memindahkan kembali anakku ke kelas asalnya (tanpa konfirmasi kepada wali kelas tersebut dan juga kepada kepala sekolah), karena pikirku, bagaimanapun anak bungsuku jauh lebih diterima di kelas asalnya.
Bagi kamu yang punya anak pasti tahulah bagaimana rasanya seorang ibu yang menganggap bahwa anaknya tidak diterima dengan baik di tempat yang dia inginkan.
Hatiku bertambah sakit ketika anakku itu terus bertanya, "Kenapa sih harus kembali ke kelas ini? Kenapa nggak di kelas sebelah saja?"
Apalagi begitu kembali ke kelas asalnya, dia langsung mendapat beban susulan tumpukan ulangan harian selama seminggu.
Aku susah mau menjelaskan alasannya ke dia, sehingga aku pun mengatakan kalau wali kelas di sebelah kurang KOMPETEN, oleh karenanya dia tidak mampu mengajar Eugene dengan baik.
"Sementara kita di sini dulu ya, Nak, nanti mami cari sekolah yang lain kalau Eugene memang tidak mau di kelas ini."
![]() |
Pribadi. |
Demi anak bungsuku ini, aku sudah seperti hidup di jalan, seharian menyetir mobil untuk mengantar jemputnya sekolah, mencarikannya sekolah baru, mengantar jemput les, mengikuti trial les di beberapa tempat, dan sebagainya.
Setelah melalui banyak hal yang berkaitan dengan anak-anak di sekolah asalnya, terutama masalah di kalangan anak-anak baru gede, akhirnya aku memutuskan untuk mencarikan anak bungsuku ini sekolah Islam Terpadu (IT). Alangkah baiknya membentuk moral anak sejak kecil, karena untuk memperbaikinya kelak tak semudah membalikkan telapak tangan.
Maksudku sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui gitu. Daripada sekedar pindah sekolah ke sesama regular, mending cari sekalian sekolah yang berkarakter Islami, jadi nggak melulu difokuskan pada akademisi, melainkan juga pada akhlaknya sebagai seorang muslim.
Ada beberapa sekolah IT yang aku hubungi, sayangnya yang terdekat dari rumah sudah tidak menerima murid pindahan lagi karena full kuota. Jadi tersisa dua lagi sekolah IT yang masih tersedia kuota dimana sekolah yang satu ada rencana pembangunan gedung di dekat rumah (tapi estimasinya masih tahun 2027), sementara satunya lagi lokasinya sekitar 8 kilo dari rumah.
Sekolah yang lokasinya sekitar 8 kilo dari rumah cukup membuat aku tertarik, kebetulan aku sudah sempat beberapa kali berkunjung, hanya saja masih mempertimbangkan jarak dan waktu yang harus aku habiskan untuk menjadi driver-nya, jadilah aku mengunjungi sekolah yang menjadi opsi kedua itu.
Kebetulan sekolah ini uang pangkal dan spp bulanannya jauh lebih besar, jadi ekspektasiku sangat tinggi, namun sayangnya ketika aku observasi ke sana, semuanya jauh dari bayanganku. Mungkin anak-anak yang memang tujuannya Hafiz, sekolah ini terbaik, tapi yang aku sangat butuhkan untuk anakku adalah karakter Islaminya saja, sementara yang lain-lain menyusul saja.
Kemudian yang pertama tentunya adalah aman dan nyaman saja dulu lingkungan sekolahnya.
Sebagai ibu, aku merasa kurang nyaman saja dengan sekolah yang terlalu rapat akan lalu lalangnya kendaraan, dalam artian setelah keluar kelas, hanya berjarak beberapa meter saja sudah menjumpai kendaraan yang bersiap jalan atau lalu lalang. Sedangkan anak bungsuku ini sedikit kurang fokus jika sudah terlalu asyik sendiri. Dia masih suka berlarian ke sana kemari.
Apalagi si bungsu ini ketika ditanya apakah bersedia pindah sekolah, dia masih mengatakan tidak. Dia bilang kalau dia tidak mau pindah sekolah, hanya bersedia pindah kelas, itu yang membuat hatiku bertambah luka.
Seorang ibu memang mudah terluka kalau berkaitan dengan ketidak-bahagiaan atau kekecewaan anak-anaknya. Setidaknya itulah yang aku rasakan.
Alhamdulillah, sekolah pilihanku yang pertama menawarkan opsi observasi selama 2 hari. Aku pun sengaja meminta ijin untuk tidak masuk dari sekolahnya dan mengambil kesempatan itu.
Awalnya anak bungsuku ini menolak dan menangis, namun pada akhirnya dia menikmati itu. Apalagi hari pertama observasi ada polisi sahabat anak yang datang ke sekolahannya, lalu pada hari kedua ada pawai ramadan, sehingga dia bisa mengakrabkan diri dulu dengan lingkungannya.
Aku juga tidak menyangka bakal secepat kilat aku membuat keputusan untuk memindahkan si bungsu sekolah. Apalagi rencana awalnya akan aku pindahkan setelah ujian tengah semester saja (dan ini sudah sempat aku informasikan pada TU), tapi ternyata sekolah tujuannya mengatakan bahwa tidak ada masalah jika dia langsung masuk sekolah setelah libur awal puasa (bahkan belum masuk pun, aku sudah dimasukkan ke dalam WA grupnya), sehingga anak bungsuku langsung saja masuk sekolah di sekolah baru sambil aku mengurus kepindahannya.
Sudah banyak sekali pertimbanganku untuk memindahkan si bungsu sekolah, karena biaya yang dikeluarkan juga cukup besar.
Yang pertama karena emaknya sensi dengan guru sebelah, yang kedua anakku ini tidak enjoy di kelasnya, yang ketiga aku butuh dia menjadi muslim yang terpadu, kemudian bertambah fix kepindahan sekolah si bungsu setelah dari pihak sekolah malah menawarkan si bungsu untuk ditempatkan di kelas lainnya lagi setelah mengetahui niat kami untuk pindah ke sekolah lain. Kelas 1 di sekolah ini memang ada 3 kelas.
Hatiku bertambah panas. Apa alasan kuatku untuk bersedia si bungsu ditempatkan di kelas yang 'mau-mau' saja menerima dia sementara ada opsi sekolah lain yang membuka pintu lebar-lebar?
Bismillah, aku berharap semoga kepindahan sekolah anak bungsuku ini adalah langkah terbaik. Bukan berarti sekolah yang sekarang jauh lebih baik daripada sekolah yang dulu, karena si bungsuku juga baru masuk, masih belum tahu lagi, hanya saja aku berharap semoga anak bungsuku ini dapat lebih happy dan bisa menangkap pelajaran dengan baik di tempat yang baru.
Toh kalau si kakak alhamdulillah kuat mental saja di sekolahan itu, wkwkwkk, tapi kalau si bungsu unhappy, aku kudu piye? Mosok kudu mokso? Jarnya orang Jerman.
Bagi maminya ini sih yang penting anak bungsuku diterima dengan baik saja dulu oleh lingkungannya. Lalu bagi anaknya yang penting lingkungannya kondusif saja dulu. Ramah anak dengan ragam karakter mereka.
Tidak apalah mami berkorban sedikit, bolak-balik 16 kilo buat ngantar jemput sekolah, yang penting anak-anak kelak bisa berprestasi, meraih cita-citanya dan menjadi anak-anak yang moral dan imannya baik, aamiin yaa Rabb.
Ada yang punya pengalaman sama nggak sih, baru saja masuk kelas 1 sudah memutuskan pindah sekolah? Kepo dong, alasannya apa? Atau malah ada yang alasannya sama seperti aku, sensi karena merasa anakku tidak dihargai dan merasa sekolahnya tidak mampu memberi solusi terbaik?
Komentar
Posting Komentar